DEMOKRASI ATAU ISLAM
⊆ Minggu, April 05, 2009 by Abu Jundan | ˜ 0 komentar »
Assalaamu ‘alaikum wr. Wb.
Langsung saja, membaca tulisan dari Dr Yusuf Qordhowi yaitu dari buku Fiquh Ad-Daulah fil-Islam yaitu pada sub pokok bahasan Islam dan Demokrasi (mudah-mudahan saudara telah membacanya ), sengaja saya mengawalkan pembahasan ini sebelum melangkah pada sistem multi partai dan sistem parlemen yang dibahas yang dibahas oleh beliau karena ini terkait dengan masalah pemahaman akan demokrasi itu sendiri.
Setelah saya membaca tulisan dari beliau yang cukup lumayan banyak juga, yang intinya mengetengahkan hikmah-hikmah yang terkandung dalam sistem demokrasi ataupun menyoroti tentang keistimewaan demokrasi, seperti pernyataan pada hal.167 yaitu tentang definisi dari demokrasi bahwa “Sesungguhnya hakekat demokrasi --- berbeda jauh dengan definisi dan terminologi akdemis --- adalah bahwa rakyat memilih orang yang akan memerintah dan menata persoalan mereka, tidak boleh dipaksakan kepada mereka penguasa yang tidak mereka sukai atau rezim yang mereka benci, mereka diberi hak untuk mengoreksi penguasa bila dia keliru, diberi hak untuk mencabut dan menggantinya bila dia menyimpang, mereka tidak boleh digiring dengan paksa untuk mengikuti berbagai sistem ekonomi, sosial dan politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka sukai. Bila sebagian dari mereka menolak, maka mereka tidak boleh disiksa, dianiaya dan dibunuh”. Bahkan beliau menekankan bahwa inilah demokrasi yang sebenarnya --- Siapa yang merenungkan hakekat demokrasi, maka dia akan mendapatkan hal itu sesuai dengan prinsip Islam.
Mungkin satu-satu untuk membahas masalah demi masalah yang timbul dari pernyataan-pernyataan beliau. Yang pertama pernyataan diatas, ada beberapa yang sependapat dari pernyataan beliau tentang definisi yang beliau lontarkan tentang demokrasi, hanya saja landasan atau dasar dari pengertian tersebut hendaknya diketengahkan juga seperti asal dari demokrasi itu sendiri kemudian perkembangannya sampai sekarang, kemudian contoh riil tentang negara yang paling demokratis yang pernah ada (atau malah tidak ada ??), dasar apa yang digunakan suatu sistem demokrasi. Sehingga tidak menyalahi dari arti demokrasi yang sebenarnya.
Sebenarnya pengertian dari demokrasi bisa dilihat dari istilah tentang demokrasi, demokrasi diambil dari bahasa Greek (Yunani) yaitu Demos dan Cratos, Demos artinya rakyat sedangkan Cratos artinya pemerintahan. Maka secara ringkasnya bahwa demokrasi adalah pemerintahan rakyat yang kemudian oleh para penganutnya didefinisikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat ;dengan menjalankan peraturan yang dibuat sendiri oleh rakyat. saya yakin bahwa seluruh dunia sepakat dengan pengertian tentang demokrasi yang seperti ini. Jadi menurut saya hakekat yang diajukan beliau adalah maslakhat-maslakhat yang digemborkan oleh demokrasi saja tidak memberikan pengertian yang mendasar dari demokrasi tersebut. Dari definisi ini bisa dihukumi oleh Islam, serta hal-hal yang terkait dalam demokrasi juga bisa dihukumi dengan Islam (Pluralisme ---bukan pluralitas---, HAM dll) bukan kita memandang pengertian demokrasi kemudian disesuai-sesuaikan dengan apa yang ada dalam Islam, ini jelas sangat tidak sesuai dengan kaidah berfikir menurut Islam ---Ingat setiap perbuatan terikat dengan hukum syara---.
Dari pendefinisian yang sebenarnya tentang demokrasi maka bisa ditarik hukum atasnya misal Aspek yang terpenting yang ada pada pengertian demokrasi adalah ketetapannya bahwa pihak yang berhak membuat hukum (Musyarri’) adalah manusia itu sendiri, bukan Al-Kholiq. Dalam hal ini para penganut demokrasi tidak pernah membahas apakah Al-Kholiq telah mewajibkan manusia untuk mengikuti dan menerapkan syari’at tertentu dalam kehidupan mereka. Bahkan, mereka sedikitpun tidak pernah memperdebatkan masalah ini sama sekali. Mereka hanya menetapkan, bahwa yang berhak membuat hukum adalah manusia titik. Bagi kaum muslimin, hal itu berarti tindak pembangkangan dan pengingkaran terhadap seluruh dalil yang qath’i tsubut (pasti sumbernya) dan qath’i dalalah (pasti pengertianya) yang mewajibkan kaum muslimin untuk mengikuti syari’at Alloh dan membuang peraturan apapun selain syari’at Alloh. Kewajiban ini diterangkan oleh banyak ayat dalam Al Qur’an. Dan lebih dari itu, ayat-ayat yang qath’i tadi menegaskan pula bahwa siapapun yang tidak mengikuti atau menerapkan syari’at Alloh berarti dia telah kafir, dzolim atau fasik seperti yang telah ditegaskan oleh Alloh dalam surat Al-Maidah ayat 44 , 45 dan 47 berdasarkan nash ini maka siapapun juga yang tidak berhukum (menjalankan urusan pemerintahan ) dengan apa yang telah diturunkan oleh Alloh, seraya mengingkari Alloh dalam menetapkan hukum maka dia adalah kafir tanpa keraguan lagi, sesuai dengan nash yang jelas tadi. Hal ini karena tindakan tersebut ---yakni tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh dan mengingkari hak membuat hukum yang dimiliki Alloh --- berarti ingkar terhadap ayat-ayat yang qath’i dalalah. Padahal orang yang mengingkari ayat yang qath’i adalah kafir, dan ini disepakati oleh seluruh fuqaha.
Kaum kafir dan antek-antek mereka ---yaitu para penguasa negri-negri muslim---, juga seluruh propagandis demokrasi dari kalangan kaum muslimin yang tertipu baik individu maupun kelompok, sesungguhnya memhami benar bahwa asas demokrasi itu harus ditegakan dengan tindakan membuang syari’at Alloh dan menempatkan manusia pada posisi Al-Kholiq. Oleh karena itu, mereka tidak menjajakan demokrasi dengan cara mengungkap hakekat dan pengertian seperti itu akan tetapi mereka mengatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Mereka katakan pula bahwa demokrasi adalahmeratakan persamaan diantara rakyat,menyebarkan keadilan, serta mengoreksi dan mengkritik pemerintah. Mereka tidak menyinggung-nyinggung mengenai tindakan membuang syari’at Alloh itu, padahal substansi (inti) demokrasi --- dari awal sampai akhir --- tiada lain adalah membuang syari’at Alloh dan mengikuti syari’at makhluq-Nya.
Dari sini jelas bahwa apa yang dituangkan oleh beliau tidaklah mendalam dalam memberikan penganalisaan fakta yang sebenarnya tentang pengertian demokrasi. Juga disebutkan pada hal 178 alinea keempat bahwa “yang dimaksud demokrasi menurut para pendukungnya adalah bahwa rakyat bebas memilih pimpinannya dan mengoreksi tindak tanduknya, mereka boleh menolak perintah penguasa bila bertentangan dengan UUD. Dengan ungkapan islami rakyat boleh menolak imam bila perintah itu menyuruh untuk melakukan maksiat rakyat berhak memecat pemimpinnya bila menyimpang dan berlaku dzalim, serta tidak pula menanggapi nasehat dan peringatannya”. Kemudian pada hal yang sama alinea pertama “pada dasarnya hakekat demokrasi ini sejalan dengan semangat islam bila kita merujuk kepada sumber-sumbernya yang asli, dari Al-Qur’an dan sunnah …” . Dalam pernyataan itu jelas bahwa ketidakjelasan hukum dasar tertinggi yang dipakai oleh demokrasi, yang jelas disusun oleh rakyat itu sendiri. Apabila tidak dibuat oleh rakyat sendiri berarti jelas itu bukan sistem yang demokrasi. Kalaupun nantinya merujuk pada Al-Qur’an dan sunnah pelaksanaannya akan sebagian-sebagian karena demokrasi terkait dengan pluralisme (faham kebinekaan), Padahal telah jelas bahwa pelaksanaan dari hukum-hukum Alloh haruslah secara menyeluruh (kaffah), tidak sebagian-sebagian serta tidak bertahap untuk menyusupkan hukum-hukum Alloh dengan cara berkompromi dengan sistem demokrasi. Timbul suatu keanehan dari pernyataan beliau kenapa tidak berfikir langsung pada Islam yang secara pasti telah mengatur seluruh aspek kehidupan dan mengatur bagaimana cara mencapainya atau menegakannya dengan metode yang telah dicontohkan rosululloh yaitu dengan cara membangun alat untuk digunakan sebagai penegak aturan-aturan Alloh yaitu khilafah islamiyah ?.
Kemudian pada hal 176 alinea kedua “Tidak ada salahnya suatu bangsa, bagi pemikir dan pemimpinnya, untuk berfikir dengan menggunakan konsep lain, barangkali dia akan memukan sesuatu yang lebih baik dan sempurna. Namun sebelum hal itu terwujud dan terlaksana dalam kenyataan, maka sebaiknya kita mengambil pelajaran dari berbagai konsep dan prinsip demokrasi yang ada demi mewujudkan keadilan, musyawarah, menghormati hak azazi manusia, dan menghadapi para penguasa tiranyang berlaku angkuh di muka bumi”. Membaca pernyataan beliau tentang ini saya teringat dalam nash Al Qur’an yaitu pada surat Al-Maidah ayat 3 yang berbunyi --- Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku atasmu dan telah Ku-Ridhoi Islam sebagai agama bagimu --- timbul berbagai macam pertanyaan dari pernyataan yang disajikan beliau apakah islam kurang sempurna sehingga kita harus mengadopsi sistem lain seperti demokrasi yang menurut analisa tadi nyata-nyata bertentangan dengan Islam ?. apakah Islam tidak mengatur sistem pemerintahan hingga harus mengorbankan untuk dicampuri atau digauli oleh demokrasi ? tentunya dengan rasa keimanan yang menghunjam didada, kita akan bisa menjawabnya ---yaitu sesuai dengan ayat diatas --- bahwa islam itu telah sempurna tidak perlu dicampuri oleh sistem lain semacam demokrasi bukankah begitu ? mudah – mudahan antum faham, belum lagi membahas masalah yang terkait dengan demokrasi seperti HAM dan pluralisme yang merupakan pilar-pilar dari demokrasi. Satu pertanyaan yang menjadi PR saudara pada faktanya negara mana yang sekarang berul-betul sebagai negara yang paling demokratis, kiranya diskusi kali ini dicukupkan dahulu mudah-mudahan Alloh menyambungkannya kembali insyaalloh … Amin.
Wassalaamu ‘alaikum wr. wb.
0 Responses to DEMOKRASI ATAU ISLAM
= Leave a Reply